BAB I
PENDAHULUAN
Seringkali dan banyak di antara kita
yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar menjalankan rutinitas ritual dari hal-hal yang dianggap kewajiban, seperti sholat, zakat, puasa, dan haji. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan: “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan
diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin)
maupun yang nampak (lahir)” (Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, 2007).
Ibadah terbagi
menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’
(mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan
rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan
shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan
hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati,
lisan dan badan. (Zakiyah, 1995)
Jadi,
ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah
(mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat
kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk
taat kepadaNya.Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah,
nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik
(benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya,
tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada syi’ar-syi’ar yang biasa dikenal. (M.Quraisy.2008)
Dari berbagai definisi tersebut,
maka secara umum ibadah mempunyai.
pengertian serta cakupan yang sangat luas. Untuk itu dalam tulisan ini
penulis akan menjabarkan pengertian, ruang lingkup, jenis, hakekat, tujuan ibadah, dan lainnya secara
lebih mendalam agar para pembaca tidak mempunyai pemahaman yang sempit atau
sepotong-sepotong (parsial) tentang apa itu ibadah, dan diharapkan setelah
membaca tulisan ini para pembanca mempunyai pemahaman yang luas tentang ibadah
dalam artian secara utuh (integral).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ibadah
Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh (al-tha’ah), dan
tunduk (al-khudlu). Ubudiyah artinya tunduk dan
merendahkan diri . Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan
kecuali untuk kepatuhan kepada Allah. Ini sesuai dengan pengertian yang di
kemukakan oleh al-syawkani, bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan perendahan
diri yang paling maksimal.
Secara etimologis diambil dari kata ‘abada, ya’budu, ‘abdan,
fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang
tidak memiliki apa-apa, harta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya
seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan
menghindarkan murkanya.
Manusia adalah hamba Allah, jiwa raga hanya
milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan
Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba kepada-Nya (Al-Zariyat:
56).
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.
Menurut istilah syara’ pengertian ibadah dijelaskan oleh para
ulama sebagai berikut:
Menurut Ibnu Taimiyah
dalam kitabnya al-ubudiyah, memberikan penjelasan yang cukup
luas tentang pengertian ibadah. Pada dasarnya ibadah berarti merendahkan diri (al-dzull).
Akan tetapi, ibadah yang diperintahkan agama bukan sekedar taat atau perendahan
diri kepada Allah. Ibadah itu adalah gabungan dari pengertian ghayah
al-zull dan ghayah al-mahabbah. Patuh kepada seseorang tetapi
tidak mencintainya, atau cinta tanpa kepatuhan itu bukan ibadah. Jadi, cinta
atau patuh saja belum cukup disebut ibadah. Seseorang belum dapat dikatakan
beribadah kepada Allah kecuali apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya
kepada apapun dan memuliakan-Nya lebih dari segala lainnya.
2.2. Ruang Lingkup Ibadah
Ruang lingkup ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Setiap apa
yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat
adalah ibadah menurut Islam asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tersebut adalah seperti berikut:
1. Amalan
yang dikerjakan hendaklah diakui Islam, bersesuaian dengan hukum-hukum syara’.
Adapun amalan-amalan yang diingkari oleh Islam dan ada hubungan dengan
yang haram dan maksiat, maka tidak dijadikan sebagai
amalan ibadah.
2. Amalan
tersebut dilakukan dengan niat yang baik bagi tujuan untuk memelihara
kehormatan diri, menyenangkan keluarga, memberi manfaat kepada umat dan
memakmurkan bumi sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah.
3. Amalan
tersebut harus dibuat dengan seindah-indahnya untuk menepati yang ditetapkan
oleh Rasulullah saw yang mafhumnya: “Bahwa Allah suka apabila seseorang dari
kamu membuat sesuatu kerja dengan memperindah kerjanya.”
4. Ketika
membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut hukum-hukum syara’ dan
ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat, tidak menipu dan
tidak menindas atau merampas hak orang.
5. Tidak
melalaikan ibadah-ibadah pokok seperti shalat, zakat, puasa dan haji dalam
melaksanakan ibadah-ibadah umum. Oleh itu ruang lingkup ibadah dalam Islam
sangat luas. Ia adalah seluas hidup seseorang Muslim dan kesanggupan serta
kekuatannya untuk melakukan apa saja amal yang diridhai oleh Allah dalam jangka
waktu tersebut.
2.3. Jenis Ibadah
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua
jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya:
1.
Ibadah murni (mahdhah) adalah suatu rangkaian aktivitas
ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah
dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan
oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu. (Qardhawi, 2002). Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a.
Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran
maupun al- Sunnah,
jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika
keberadaannya.
b. Tata caranya harus mencontoh Rasulullah saw. Salah satu tujuan
diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqß§ wÎ) tí$sÜãÏ9 ÂcøÎ*Î/ «!$# 4 öqs9ur öNßg¯Rr& Î) (#þqßJn=¤ß öNßg|¡àÿRr& x8râä!$y_ (#rãxÿøótGó$$sù ©!$# txÿøótGó$#ur ÞOßgs9 ãAqß§9$# (#rßy`uqs9 ©!$# $\/#§qs? $VJÏm§ ÇÏÍÈ
64.
Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya[313] datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk
mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. (QS.
An-Nisa’: 64)
[313]
Ialah: berhakim kepada selain Nabi Muhammad s.a.w.
Jika
melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan
praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara
mengada-ada, yang populer disebutbid’ah. Salah satu penyebab hancurnya
agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya
bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka.
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah
bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah
wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah
tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya,
keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan
apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka
ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan
ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang
diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan
hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk
dipatuhi. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah:
1. Wudhu 7. Membaca
al-Quran
2. Tayammum 8. I’tikaf
3. Mandi hadats 9. Shiyam (Puasa)
3. Mandi hadats 9. Shiyam (Puasa)
4. Adzan 10.
Haji
5. Iqamat 11.
Umrah
6. Shalat 12.
Tajhiz al-Janazah
2. Ibadah Ghairu Mahdhah yakni segala amalan yang diizinkan oleh Allah yang tata cara
pelaksanaanya, waktu dan tempat tidak diatur secara terperinci atau detail oleh
Nash Al Qur’an, bentuknya beragam mengikuti situasi dan kondisi, tetapi
substansi ibadahnya tetap terjaga. seperti sedekah, belajar, dzikir, dakwah,
tolong menolong dan lain sebagainya. (Qardhawi, 2002)
Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a).
Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan
Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b).
Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah
bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah”, atau jika ada yang menyebutnya,
segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya
disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah
dhalalah.
c).
Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya,
manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau
logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, danmadharat,
maka tidak boleh dilaksanakan.
d). Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat,
maka selama itu boleh dilakukan.
2.4. Hakikat dan Tujuan Ibadah
Hakikat ibadah menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah
terminologi integral yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi.
Dari
definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah sangat luas. Ibadah
mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita harus memahami bahwa
setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh terlepas dari pemahaman kita
akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil apapun aktivitas itu akan berimplikasi
terhadap kehidupan akhirat. Allah SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya (QS
Az-Zalzalah 99: 7-8):
`yJsù ö@yJ÷èt tA$s)÷WÏB >o§s #\øyz ¼çntt ÇÐÈ `tBur ö@yJ÷èt tA$s)÷WÏB ;o§s #vx© ¼çntt ÇÑÈ
7.
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan
melihat (balasan)nya.
8. Dan Barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.
Pada suatu risalah, Al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat ibadah
adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada semua perintah dan larangannya.
Sesuatu yang bentuknya seperti ibadah, tapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah
dapat disebut sebagai ibadah. Shalat dan puasa sekalipun hanya menjadi ibadah
bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara’. Melakukan shalat pada
waktu-waktu terlarang atau berpuasa pada pada hari raya, sama sekali tidak
menjadi ibadah, bahkan merupakan pelanggaran dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah
bahwa ibadah yang hakiki itu adalah menjujung perintah, bukan semata-mata
melakukan shalat dan puasa, sebab shalat dan puasa itu akan menjadi ibadah bila
sesuai dengan yang diperintahkan.
Akan tetapi, sesungguhnya ibadah dengan pengertian yang hakiki itu
merupakan tujuan dari dirinya sendiri. Dengan melakukan ibadah, manusia akan
selalu tahu dan sadar bahwa betapa lemah dan hinanya mereka bila berhadapan
dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari benar-benar kedudukannya sebagai
hamba Allah. Jika hal ini benar-benar telah dihayati,
maka banyak manfaat yang akan diperolehnya. Misalnya saja surga yang
dijanjikan, tidak akan luput sebab Allah tidak akan menyalahi janjinya. Jadi,
tujuan yang hakiki dari ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT
dan menunggalkan-Nya sebagai tumpuan harapan dalam segala hal.
Ibadah menghasilkan
keseimbangan hidup. Melakukan perintah Sabat (yaitu beristirahat dari semua
kegiatan untuk beribadah) akan membuat hidup kita seimbang, sehingga kita
menjadi lebih sehat, baik secara jasmani, kejiwaan, maupun rohani. Bila tubuh
dipaksakan untuk bekerja tanpa istirahat yang cukup, kita akan kelelahan secara
fisik dan sulit berpikir secara jernih. Akibatnya, kita tidak bisa bekerja
secara efektif. Bahkan, kelelahan terus-menerus bisa membuat kita mengalami
masalah psikologis seperti cepat marah, dan sebagainya. Sebaliknya, dengan
menyediakan waktu secara khusus dan rutin untuk beribadah, kita memperoleh
kekuatan baru untuk menghadapi tantangan hidup dengan hikmat dan kekuatan dari
Tuhan. (Abduh, 1999)
2.5. Jalan agar Ibadah dapat diterima oleh Allah
Agar
ibadah kita diterima oleh Allah, kita harus memiliki sikap berikut :
1. Ikhlas, artinya hendaklah ibadah yang
kita kerjakan itu bukan karena mengharap pemberian dari Allah, tetapi
semata-mata karena perintah dan ridha-Nya. juga bukan karena mengharapkan surga
dan jangan pula karena takut kepada neraka. Karena surga dan neraka tidak dapat
menyenangkan atau menyiksa tanpa seizin Allah SWT.
2. Meninggalkan riya, artinya beribadah
bukan karena malu kepada manusia dan supaya dilihat oleh orang lain.
3. Bermuraqabah, artinya yakin bahwa Allah
itu melihat dan selalu ada disamping kita sehingga kita bersikap sopan
kepada-Nya.
4. Jangan keluar dari waktunya, artinya mengerjakan ibadah dalam
waktu tertentu, sedapat mungkin dikerjakan di awal waktu.
2.6. Tanda-tanda seseorang yang merasakan nikmatnya
Ibadah
Kenikmatan ibadah itu memiliki tanda-tanda sebagaimana firman
Allah, (QS. Al-Fath: 29):
Ó£JptC ãAqß§ «!$# 4 tûïÏ%©!$#ur ÿ¼çmyètB âä!#£Ï©r& n?tã Í$¤ÿä3ø9$# âä!$uHxqâ öNæhuZ÷t/ ( öNßg1ts? $Yè©.â #Y£Úß tbqäótGö6t WxôÒsù z`ÏiB «!$# $ZRºuqôÊÍur ( öNèd$yJÅ Îû OÎgÏdqã_ãr ô`ÏiB ÌrOr& Ïqàf¡9$# 4 y7Ï9ºs öNßgè=sVtB Îû Ïp1uöqG9$# 4 ö/àSè=sVtBur Îû È@ÅgUM}$# ?íötx. ylt÷zr& ¼çmt«ôÜx© ¼çnuy$t«sù xán=øótGó$$sù 3uqtFó$$sù 4n?tã ¾ÏmÏ%qß Ü=Éf÷èã tí#§9$# xáÉóuÏ9 ãNÍkÍ5 u$¤ÿä3ø9$# 3 ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Nåk÷]ÏB ZotÏÿøó¨B #·ô_r&ur $JJÏàtã ÇËÒÈ
29.
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu
Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,
tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud[1406]. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan
kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar.
[1406] Maksudnya: pada air muka mereka kelihatan
keimanan dan kesucian hati mereka.
Ini menunjukan bahwa orang-orang yang mampu merasakan nikmatnya
beribadah akan membekas di wajahnya serta dalam tingkah laku dan kepekaannya. Adapun
tanda-tanda yang dapat dilihat dari seorang mukmin yang telah merasakan
kenikmatan ibadah adalah,
1. Bersegera melakukan
ketaatan
Pada saat seorang mukmin bertemu dengan satu amalan ketaatan,
apapun amalan tersebut, dia akan bergegas untuk menyambutnya dengan rasa
senang, baik amalan itu datang ketika waktu shalat atau saat-saat menjelang
bulan Ramadhan yang penuh berkah atau ketika musim haji atau jihad fi
sabilillah atau amalan-amalan shalih lainnya.
Salah seorang pemuka tabi’in bernama Said bin al-Musayyib
berkata, “selama tiga puluh tahun aku telah berada di masjid sebelum
muadzin mengumandangkan adzan.”
Muhammad bin Sima’ah at-Tamimi berkata, “selama empat puluh
tahun aku belum pernah tertinggal dari takbir pertama bersama imam kecuali pada
hari ketika ibuku meninggal.”
Salah seorang sahabat bernama Abdullah bin Rawahah, apabila ingin
keluar rumahnya dia shalat dua rakaat. Apabila masuk rumah dia pun shalat dua
rakaat dan beliau tidak pernah meninggalkan kebiasaannya itu. Rasulullah pun memuji
dirinya, beliau bersabda: “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada
saudaraku Abdullah bin Rawahah, dia selalu menghentikan untanya di mana saja
dia dapat mendapatkan waktu shalat itu telah tiba”
Bukan hanya dalam persoalan shalat. Di dalam semua jenis ketaatan
kepada Allah yang lain pun demikian. Seperti kisah yang tidak asing lagi, yaitu
Abu Bakar dan Umar yang berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Oleh karena
itu, pada hakekatnya setan-setan itu sangat menginginkan seorang mukmin
berlambat-lambat untuk melakukan ketaatan.
2.
Memanjangkan shalat
Orang
yang merasakan nikmatnya ibadah, dia tidak merasakan bahwa waktu itu terus
berlalu, bahkan waktu yang panjang baginya terasa sesaat. Dahulu Nabi Muhammad
SAW. Melakukan shalat malam dengan membaca
surat al-Baqarah, Ali Imran dan an-Nisa’ dalam
satu rakaat. Beliau tidak merasakan panjangnya waktu untuk berdiri dalam shalat
karena sibuk menikmati lezatnya bermunajat.
3. Berpuasa secara rutin
Sebagaimana
halnya seorang hamba yang senang menikmati ibadah dengan memanjangkan
shalatnya, dia pun senang melakukan puasa secara rutin. Selain menahan lapar
dan nafsu, dengan puasa juga akan memberikan vitamin kepada jiwa dan akan
mendekatkan diri kepada Dzat yang Maha Penguasa Yang Paling Tinggi.
4. Membaca Al-Qur’an
Allah telah mensifati orang-orang yang beriman ketika Al-Qur’an
turun. Mereka adalah, (QS. at-Taubah: 124):
#sÎ)ur !$tB ôMs9ÌRé& ×ouqß Oßg÷YÏJsù `¨B ãAqà)t öNà6r& çmø?y#y ÿ¾ÍnÉ»yd $YZ»yJÎ) 4 $¨Br'sù úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNßgø?y#tsù $YZ»yJÎ) óOèdur tbrãϱö;tGó¡o ÇÊËÍÈ
124.
Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik)
ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan
(turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, Maka surat ini
menambah imannya, dan mereka merasa gembira.
Mereka
merasa gembira karena ayat-ayat yang tercantum didalamnya merupakan kabar
gembira bagi mereka dan sebagai bentuk ancaman bagi musuh-musuh mereka. Didalam
ayat-ayat Al-Qur’an terdapat jawaban bagi permasalahan yang mereka hadapi dan
di dalamnya pun terdapat perkataan yang tidak bosan untuk di dengarkan.
5. Menyesal ketika
kehilangan kesempatan untuk melakukan ketaatan
Di
antara tanda-tanda seseorang merasakan kelezatan ibadah adalah apabila seorang
mukmin kehilangan kesempatan dalam melakukan kebaikan dia merasa sedih dan
gelisah, sehingga dia akan berusaha untuk tidak kehilangan kesempatan itu untuk
kedua kalinya. Dia merasa sedih karena orang lain telah mendahuluinya menuju
seruan Allah. sebagaimana sedihnya orang-orang kehilangan kesempatan untuk
berjihad.
6. Rindu ingin bertemu
dengan Allah
Di antara ciri-ciri orang yang merasakan kelezatan ibadah adalah
dia merindukan pertemuan dengan Dzat yang dia cintai. Dia merasakan tenteram
mendengar dan membaca kalam-Nya, tenteram dengan shalat, berjihad melawan hawa
nafsunya, puasa karena-Nya untuk mendapatkan derajat taqwa di sisi Allah. Akan
tetapi karena dia belum merasakan kegembiraan melihat-Nya dan dia selalu berdoa
kepada Allah.
Sedangkan
cirri-ciri orang yang terhalang dari mendapatkan kenikmatan ibadah sebagai
berikut:
1. Mereka merasa benci
untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman,
yyÌsù cqàÿ¯=yßJø9$# öNÏdÏyèø)yJÎ/ y#»n=Åz ÉAqßu «!$# (#þqèdÌx.ur br& (#rßÎg»pgä óOÏlÎ;ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# (#qä9$s%ur w (#rãÏÿZs? Îû Ìhptø:$# 3 ö@è% â$tR zO¨Zygy_ x©r& #vym 4 öq©9 (#qçR%x. tbqßgs)øÿt ÇÑÊÈ
81. Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu,
merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka
tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka
berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik
ini". Katakanlah: "Api neraka Jahannam itu lebih sangat
panas(nya)" jika mereka mengetahui. (QS.At-Taubah: 81).
2. Apabila mereka diajak berinfak dijalan Allah dengan harta
yang nantinya akan kekal dan akan
kembali kepadanya dengan berlipat ganda, maka ia enggan menginfakkannya.
Sekalipun mereka menginfakkan harta mereka, mereka akan mengeluarkan harta yang
paling buruk. Allah berfirman,
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhsÛ $tB óOçFö;|¡2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( wur (#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îÏJym ÇËÏÐÈ
267.
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. (QS. Al-Baqarah:267)
3. Orang yang
terhalang dari kenikmatan beribadah akan tidur dan orang yang cinta kepada Allah
akan bangun untuk shalat.
4. Malas
untuk melakukan amal.
2.7. Sarana meraih nikmatnya ibadah
Adapun sarana untuk mencapai kenikmatan ibadah antara lain :
1. Ridha Allah sebagai rabb yang diibadahi,
Firman Allah (QS. At-Taubah:100)
cqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûïÌÉf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ Å̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ Ìôfs? $ygtFøtrB ã»yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºs ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ
100.
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
Mereka ridha kepada
perintah dan takdir Allah, aturan dan hukum-Nya dan ridha kepada penciptaan
beserta hikmah-Nya. Cara untuk mendapatkan ridha-Nya adalah dengan bertawakkal
kepada-Nya, menunaikan perintah-Nya dan mengaku kelemahan-kelemahan. Ridha
lahir dari cinta. Barang siapa cinta kepada Allah, dia akan merasakan
kenikmatan ketika menjadi pelayan bagi Dzat yang dia cintai.
2. Ridha kepada nabi Muhammad sebagai
utusan Allah
Sebagai halnya cinta
kepada Allah, maka kita harus mencintai Rasul-Nya, Muhammad SAW. Karena beliau
manusia yang menyampaikan perintah dan larangan dari Allah dan sebagai
perantara yang akan menghantarkan manusia sampai kepada Allah. Cara seseorang
untuk ridha kepada Nabi adalah dengan mencintainya, tunduk dan berhukum
kepadanya.
3. Memperdalam iman kepada hari akhir dan mengetahui hakikat
dunia dan akhirat. Memupuk keimanan pada hari akhir akan mendorong manusia
untuk semangat dalam melakukan pekerjaan.
4. Menjauhi hal-hal yang menyebabkan hati membatu.
Barang
siapa ingin meraih kenikmatan beribadah, hendaklah ia bersungguh-sungguh memacu
diri untuk menghindar dari dorongan hawa nafsu dan janji-janji yang semu.
Imam
Ibn Qayyim berkata:
“nafsu
itu akan mengajak kepada keburukan, mungkin disebabkan dia bodoh terhadap
akibat buruk yang akan timbul atau karena niat yang rusak atau pada saat
tertentu karena dua hal tersebut secara bersamaan”
5. Bersungguh-sungguh
Barang
siapa yang bersungguh-sungguh menundukkan hawa nafsunya untuk selalu taat, maka
yang demikian adalah pahala yang besar daripada amalan lainnya. Rasulullah
bersabda,
“Sudikah
kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang menyebabkan Allah akan menghapus
kesalahan-kesalahan dan mengangkat kedudukannya dengan beberapa derajat?” para
sahabat menjawab,”Ya, wahai Rasulullah.” Lalu beliau bersabda:”sempurnakanlah
wudhu atas hal-hal yang di benci, perbanyaklah melangkahkan kaki menuju
masjid-masjid dan menunggu shalat wajib setelah shalat nafilah”
6. Berdoa
7. Merasa yakin akan mendapatkan tujuan beribadah dan yakin
akan berhasil meraih kenikmatannya
8. Menegetahui bahwa ibadah itu bukan sekedar bentuk-bentuk
yang harus ditunaikan, akan tetapi ibadah adalah ruh
9. Menjadikan ibadah sebagai prioritas
perhatian seseorang
10.Memberikan kesempatan istirahat kepada jiwa dan memberikan
ketenteraman hati.
BAB III
P E N U T U P
KESIMPULAN
-
Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa : Ibadah
adalah ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak
terbatas pula. Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan oleh seorang hamba
dengan Allah secara langsung.
-
Secara
garis besar ibadah dibagi menjadi dua:
-
Ibadah murni (mahdhah), adalah suatu rngkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan
Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya,
serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis
dari masing-masing individu.
-
Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang
mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua
keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis
amal.
- Ruang lingkup ibadah
di dalam Islam amat luas sekali. Ianya merangkumi setiap kegiatan kehidupan
manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun
dengan masyarakat adalah ‘ibadah menurut Islam selagi ia memenuhi syarat syarat
tertentu.
-
Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini
kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh Allah
untuk beribadah. Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian manusia, maka
agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya
manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu mencapai taqwa.
DAFTAR PUSTAKA
Al manar, Abduh. 1999.Ibadah dan Syari’ah. Surabaya : PT. Pamator
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.2007.Kitab:Dasar Islam. Jakarta : Lentera Hati
Darajat, Zakiyah.1995.Ilmu Fiqih.Yogyakarta : PT.Dana Bhakti Wakaf
Departemen
Agama Republik Indonesia. 1989. Al-Quran
dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra
Syihab,
M.Quraisy.2008. M.Quraisy Syihab Menjawab
1001 Soal Keislaman yang
Patut Anda Ketahui cetakan ke-1. Jakarta : Lentera Hati
Yusuf, Qardhawi.2002.Konsep Ibadah dalam Islam.Bandung : Mizan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar