Sabtu, 14 Januari 2017

Ibadah



BAB I
PENDAHULUAN
            Seringkali dan banyak di antara kita yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar menjalankan rutinitas ritual dari hal-hal yang dianggap kewajiban, seperti sholat, zakat, puasa, dan haji. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir)” (Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, 2007).
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan. (Zakiyah, 1995)
            Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepadaNya.Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada syi’ar-syi’ar yang biasa dikenal. (M.Quraisy.2008)
Dari berbagai definisi tersebut, maka secara umum ibadah mempunyai.  pengertian serta cakupan yang sangat luas. Untuk itu dalam tulisan ini penulis akan menjabarkan pengertian, ruang lingkup,  jenis, hakekat, tujuan ibadah, dan lainnya secara lebih mendalam agar para pembaca tidak mempunyai pemahaman yang sempit atau sepotong-sepotong (parsial) tentang apa itu ibadah, dan diharapkan setelah membaca tulisan ini para pembanca mempunyai pemahaman yang luas tentang ibadah dalam artian secara utuh (integral).

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ibadah
Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh (al-tha’ah), dan tunduk (al-khudlu)Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan diri . Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah. Ini sesuai dengan pengertian yang di kemukakan oleh al-syawkani, bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan perendahan diri yang paling maksimal.
Secara etimologis diambil dari kata ‘abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, harta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.
Manusia adalah hamba Allah, jiwa raga hanya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk  ibadah atau menghamba kepada-Nya (Al-Zariyat: 56).
   $tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Menurut istilah syara’ pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-ubudiyah, memberikan penjelasan yang cukup luas tentang pengertian ibadah. Pada dasarnya ibadah berarti merendahkan diri (al-dzull). Akan tetapi, ibadah yang diperintahkan agama bukan sekedar taat atau perendahan diri kepada Allah. Ibadah itu adalah gabungan dari pengertian ghayah al-zull dan ghayah al-mahabbah. Patuh kepada seseorang tetapi tidak mencintainya, atau cinta tanpa kepatuhan itu bukan ibadah. Jadi, cinta atau patuh saja belum cukup disebut ibadah. Seseorang belum dapat dikatakan beribadah kepada Allah kecuali apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya kepada apapun dan memuliakan-Nya lebih dari segala lainnya.
2.2. Ruang Lingkup Ibadah
Ruang lingkup ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah menurut Islam asalkan  memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tersebut adalah seperti berikut:
1.  Amalan yang dikerjakan hendaklah diakui Islam, bersesuaian dengan hukum-hukum syara’. Adapun amalan-amalan yang diingkari oleh Islam dan ada hubungan dengan yang    haram dan maksiat, maka tidak dijadikan sebagai amalan ibadah.
2.  Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang baik bagi tujuan untuk memelihara kehormatan diri, menyenangkan keluarga, memberi manfaat kepada umat dan memakmurkan bumi sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah.
3.  Amalan tersebut harus dibuat dengan seindah-indahnya untuk menepati yang ditetapkan oleh Rasulullah saw yang mafhumnya: “Bahwa Allah suka apabila seseorang dari kamu membuat sesuatu kerja dengan memperindah kerjanya.”
4.  Ketika membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut hukum-hukum syara’ dan ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat, tidak menipu dan tidak menindas atau merampas hak orang.
5.  Tidak melalaikan ibadah-ibadah pokok seperti shalat, zakat, puasa dan haji dalam melaksanakan ibadah-ibadah umum. Oleh itu ruang lingkup ibadah dalam Islam sangat luas. Ia adalah seluas hidup seseorang Muslim dan kesanggupan serta kekuatannya untuk melakukan apa saja amal yang diridhai oleh Allah dalam jangka waktu tersebut.

2.3. Jenis Ibadah
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya:
1.      Ibadah murni (mahdhah) adalah suatu rangkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu. (Qardhawi, 2002). Ibadah bentuk ini  memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun          al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b. Tata caranya harus mencontoh Rasulullah saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqß§ žwÎ) tí$sÜãÏ9 ÂcøŒÎ*Î/ «!$# 4 öqs9ur öNßg¯Rr& ŒÎ) (#þqßJn=¤ß öNßg|¡àÿRr& x8râä!$y_ (#rãxÿøótGó$$sù ©!$# txÿøótGó$#ur ÞOßgs9 ãAqß§9$# (#rßy`uqs9 ©!$# $\/#§qs? $VJŠÏm§ ÇÏÍÈ  
64. Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya[313] datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’: 64)
[313] Ialah: berhakim kepada selain Nabi Muhammad s.a.w.
            Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang populer disebutbid’ah. Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka.
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah:
1.   Wudhu                                      7.   Membaca al-Quran
2.   Tayammum                               8.   I’tikaf
3.   Mandi hadats                            9.   Shiyam (Puasa)
4.   Adzan                                     10.   Haji
5.   Iqamat                                     11.   Umrah
6.   Shalat                                      12.   Tajhiz al-Janazah

2. Ibadah Ghairu Mahdhah yakni segala amalan yang diizinkan oleh Allah yang tata cara pelaksanaanya, waktu dan tempat tidak diatur secara terperinci atau detail oleh Nash Al Qur’an, bentuknya beragam mengikuti situasi dan kondisi, tetapi substansi ibadahnya tetap terjaga. seperti sedekah, belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya. (Qardhawi, 2002)
  Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a). Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b). Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah”, atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c). Bersifat rasional,  ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.  Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, danmadharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d). Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
2.4. Hakikat dan Tujuan Ibadah
Hakikat ibadah menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah terminologi integral yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi.
Dari definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah sangat luas. Ibadah mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita harus memahami bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh terlepas dari pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil apapun aktivitas itu akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat. Allah SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya (QS Az-Zalzalah 99: 7-8):
`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§sŒ #\øyz ¼çnttƒ ÇÐÈ   `tBur ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB ;o§sŒ #vx© ¼çnttƒ ÇÑÈ  
7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.
8. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.

Pada suatu risalah, Al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat ibadah adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada semua perintah dan larangannya. Sesuatu yang bentuknya seperti ibadah, tapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah dapat disebut sebagai ibadah. Shalat dan puasa sekalipun hanya menjadi ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara’. Melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang atau berpuasa pada pada hari raya, sama sekali tidak menjadi ibadah, bahkan merupakan pelanggaran dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah bahwa ibadah yang hakiki itu adalah menjujung perintah, bukan semata-mata melakukan shalat dan puasa, sebab shalat dan puasa itu akan menjadi ibadah bila sesuai dengan yang diperintahkan.
Akan tetapi, sesungguhnya ibadah dengan pengertian yang hakiki itu merupakan tujuan dari dirinya sendiri. Dengan melakukan ibadah, manusia akan selalu tahu dan sadar bahwa betapa lemah dan hinanya mereka bila berhadapan dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari benar-benar kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika hal ini    benar-benar telah dihayati, maka banyak manfaat yang akan diperolehnya. Misalnya saja surga yang dijanjikan, tidak akan luput sebab Allah tidak akan menyalahi janjinya. Jadi, tujuan yang hakiki dari ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT dan   menunggalkan-Nya sebagai tumpuan harapan dalam segala hal.
Ibadah menghasilkan keseimbangan hidup. Melakukan perintah Sabat (yaitu beristirahat dari semua kegiatan untuk beribadah) akan membuat hidup kita seimbang, sehingga kita menjadi lebih sehat, baik secara jasmani, kejiwaan, maupun rohani. Bila tubuh dipaksakan untuk bekerja tanpa istirahat yang cukup, kita akan kelelahan secara fisik dan sulit berpikir secara jernih. Akibatnya, kita tidak bisa bekerja secara efektif. Bahkan, kelelahan terus-menerus bisa membuat kita mengalami masalah psikologis seperti cepat marah, dan sebagainya. Sebaliknya, dengan menyediakan waktu secara khusus dan rutin untuk beribadah, kita memperoleh kekuatan baru untuk menghadapi tantangan hidup dengan hikmat dan kekuatan dari Tuhan. (Abduh, 1999)
2.5. Jalan agar Ibadah dapat diterima oleh Allah
Agar ibadah kita diterima oleh Allah, kita harus memiliki sikap berikut :
1. Ikhlas, artinya hendaklah ibadah yang kita kerjakan itu bukan karena mengharap pemberian dari Allah, tetapi semata-mata karena perintah dan ridha-Nya. juga bukan karena mengharapkan surga dan jangan pula karena takut kepada neraka. Karena surga dan neraka tidak dapat menyenangkan atau menyiksa tanpa seizin Allah SWT.
2. Meninggalkan riya, artinya beribadah bukan karena malu kepada manusia dan supaya dilihat oleh orang lain.
3. Bermuraqabah, artinya yakin bahwa Allah itu melihat dan selalu ada disamping kita sehingga kita bersikap sopan kepada-Nya.
4. Jangan keluar dari waktunya, artinya mengerjakan ibadah dalam waktu tertentu, sedapat mungkin dikerjakan di awal waktu.
2.6.  Tanda-tanda seseorang yang merasakan nikmatnya Ibadah
Kenikmatan ibadah itu memiliki tanda-tanda sebagaimana firman Allah, (QS. Al-Fath: 29):
Ó£JptC ãAqß§ «!$# 4 tûïÏ%©!$#ur ÿ¼çmyètB âä!#£Ï©r& n?tã Í$¤ÿä3ø9$# âä!$uHxqâ öNæhuZ÷t/ ( öNßg1ts? $Yè©.â #Y£Úß tbqäótGö6tƒ WxôÒsù z`ÏiB «!$# $ZRºuqôÊÍur ( öNèd$yJÅ Îû OÎgÏdqã_ãr ô`ÏiB ̍rOr& ÏŠqàf¡9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßgè=sVtB Îû Ïp1uöq­G9$# 4 ö/àSè=sVtBur Îû È@ŠÅgUM}$# ?íötx. ylt÷zr& ¼çmt«ôÜx© ¼çnuy$t«sù xán=øótGó$$sù 3uqtFó$$sù 4n?tã ¾ÏmÏ%qß Ü=Éf÷èムtí#§9$# xáŠÉóuÏ9 ãNÍkÍ5 u$¤ÿä3ø9$# 3 ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Nåk÷]ÏB ZotÏÿøó¨B #·ô_r&ur $JJÏàtã ÇËÒÈ  
29. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud[1406]. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.

[1406] Maksudnya: pada air muka mereka kelihatan keimanan dan kesucian hati mereka.

Ini menunjukan bahwa orang-orang yang mampu merasakan nikmatnya beribadah akan membekas di wajahnya serta dalam tingkah laku dan kepekaannya. Adapun tanda-tanda yang dapat dilihat dari seorang mukmin yang telah merasakan kenikmatan ibadah adalah,
1.   Bersegera melakukan ketaatan
Pada saat seorang mukmin bertemu dengan satu amalan ketaatan, apapun amalan tersebut, dia akan bergegas untuk menyambutnya dengan rasa senang, baik amalan itu datang ketika waktu shalat atau saat-saat menjelang bulan Ramadhan yang penuh berkah atau ketika musim haji atau jihad fi sabilillah atau amalan-amalan shalih lainnya.
Salah seorang pemuka tabi’in bernama Said bin al-Musayyib berkata, “selama tiga puluh tahun aku telah berada di masjid sebelum muadzin mengumandangkan adzan.”
Muhammad bin Sima’ah at-Tamimi berkata, “selama empat puluh tahun aku belum pernah tertinggal dari takbir pertama bersama imam kecuali pada hari ketika ibuku meninggal.”
Salah seorang sahabat bernama Abdullah bin Rawahah, apabila ingin keluar rumahnya dia shalat dua rakaat. Apabila masuk rumah dia pun shalat dua rakaat dan beliau tidak pernah meninggalkan kebiasaannya itu. Rasulullah pun memuji dirinya, beliau bersabda: “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada saudaraku Abdullah bin Rawahah, dia selalu menghentikan untanya di mana saja dia dapat mendapatkan waktu shalat itu telah tiba”
Bukan hanya dalam persoalan shalat. Di dalam semua jenis ketaatan kepada Allah yang lain pun demikian. Seperti kisah yang tidak asing lagi, yaitu Abu Bakar dan Umar yang berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Oleh karena itu, pada hakekatnya setan-setan itu sangat menginginkan seorang mukmin berlambat-lambat untuk melakukan ketaatan.
2.   Memanjangkan shalat
Orang yang merasakan nikmatnya ibadah, dia tidak merasakan bahwa waktu itu terus berlalu, bahkan waktu yang panjang baginya terasa sesaat. Dahulu Nabi Muhammad SAW. Melakukan shalat malam dengan membaca surat     al-Baqarah, Ali Imran dan an-Nisa’ dalam satu rakaat. Beliau tidak merasakan panjangnya waktu untuk berdiri dalam shalat karena sibuk menikmati lezatnya bermunajat.
3.   Berpuasa secara rutin
Sebagaimana halnya seorang hamba yang senang menikmati ibadah dengan memanjangkan shalatnya, dia pun senang melakukan puasa secara rutin. Selain menahan lapar dan nafsu, dengan puasa juga akan memberikan vitamin kepada jiwa dan akan mendekatkan diri kepada Dzat yang Maha Penguasa Yang Paling Tinggi.
4.   Membaca Al-Qur’an
Allah telah mensifati orang-orang yang beriman ketika Al-Qur’an turun. Mereka adalah, (QS. at-Taubah: 124):
#sŒÎ)ur !$tB ôMs9ÌRé& ×ouqß Oßg÷YÏJsù `¨B ãAqà)tƒ öNà6ƒr& çmø?yŠ#y ÿ¾ÍnÉ»yd $YZ»yJƒÎ) 4 $¨Br'sù šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNßgø?yŠ#tsù $YZ»yJƒÎ) óOèdur tbrãÏ±ö;tGó¡o ÇÊËÍÈ  
124. Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, Maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.
Mereka merasa gembira karena ayat-ayat yang tercantum didalamnya merupakan kabar gembira bagi mereka dan sebagai bentuk ancaman bagi musuh-musuh mereka. Didalam ayat-ayat Al-Qur’an terdapat jawaban bagi permasalahan yang mereka hadapi dan di dalamnya pun terdapat perkataan yang tidak bosan untuk di dengarkan.

5.      Menyesal ketika kehilangan kesempatan untuk melakukan ketaatan
Di antara tanda-tanda seseorang merasakan kelezatan ibadah adalah apabila seorang mukmin kehilangan kesempatan dalam melakukan kebaikan dia merasa sedih dan gelisah, sehingga dia akan berusaha untuk tidak kehilangan kesempatan itu untuk kedua kalinya. Dia merasa sedih karena orang lain telah mendahuluinya menuju seruan Allah. sebagaimana sedihnya orang-orang kehilangan kesempatan untuk berjihad.
6.   Rindu ingin bertemu dengan Allah
Di antara ciri-ciri orang yang merasakan kelezatan ibadah adalah dia merindukan pertemuan dengan Dzat yang dia cintai. Dia merasakan tenteram mendengar dan membaca kalam-Nya, tenteram dengan shalat, berjihad melawan hawa nafsunya, puasa karena-Nya untuk mendapatkan derajat taqwa di sisi Allah. Akan tetapi karena dia belum merasakan kegembiraan melihat-Nya dan dia selalu berdoa kepada Allah.
Sedangkan cirri-ciri orang yang terhalang dari mendapatkan kenikmatan ibadah sebagai berikut:
1.      Mereka merasa benci untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman,
yy̍sù šcqàÿ¯=yßJø9$# öNÏdÏyèø)yJÎ/ y#»n=Åz ÉAqßu «!$# (#þqèd̍x.ur br& (#rßÎg»pgä óOÏlÎ;ºuqøBr'Î/ öNÍkŦàÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# (#qä9$s%ur Ÿw (#rãÏÿZs? Îû Ìhptø:$# 3 ö@è% â$tR zO¨Zygy_ x©r& #vym 4 öq©9 (#qçR%x. tbqßgs)øÿtƒ ÇÑÊÈ  
81. Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya)" jika mereka mengetahui. (QS.At-Taubah: 81).

2. Apabila mereka diajak berinfak dijalan Allah dengan harta yang    nantinya akan kekal dan akan kembali kepadanya dengan berlipat ganda, maka ia enggan menginfakkannya. Sekalipun mereka menginfakkan harta mereka, mereka akan mengeluarkan harta yang paling buruk. Allah berfirman,
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6ÍhŠsÛ $tB óOçFö;|¡Ÿ2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$# ( Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè? NçGó¡s9ur ÏmƒÉÏ{$t«Î/ HwÎ) br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# ;ÓÍ_xî îŠÏJym ÇËÏÐÈ  
267. Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Al-Baqarah:267)
 3. Orang yang terhalang dari kenikmatan beribadah akan tidur dan orang yang cinta kepada Allah akan bangun untuk shalat.
4. Malas untuk melakukan amal.
2.7.  Sarana meraih nikmatnya ibadah
Adapun sarana untuk mencapai kenikmatan ibadah antara lain :
1.  Ridha Allah sebagai rabb yang diibadahi, Firman Allah (QS. At-Taubah:100)
šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ ̍ôfs? $ygtFøtrB ㍻yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºsŒ ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ  
100. Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
Mereka ridha kepada perintah dan takdir Allah, aturan dan hukum-Nya dan ridha kepada penciptaan beserta hikmah-Nya. Cara untuk mendapatkan ridha-Nya adalah dengan bertawakkal kepada-Nya, menunaikan perintah-Nya dan mengaku kelemahan-kelemahan. Ridha lahir dari cinta. Barang siapa cinta kepada Allah, dia akan merasakan kenikmatan ketika menjadi pelayan bagi Dzat yang dia cintai.
2. Ridha kepada nabi Muhammad sebagai utusan Allah
Sebagai halnya cinta kepada Allah, maka kita harus mencintai Rasul-Nya, Muhammad SAW. Karena beliau manusia yang menyampaikan perintah dan larangan dari Allah dan sebagai perantara yang akan menghantarkan manusia sampai kepada Allah. Cara seseorang untuk ridha kepada Nabi adalah dengan mencintainya, tunduk dan berhukum kepadanya.
3. Memperdalam iman kepada hari akhir dan mengetahui hakikat dunia dan akhirat. Memupuk keimanan pada hari akhir akan mendorong manusia untuk semangat dalam melakukan pekerjaan.
4. Menjauhi hal-hal yang menyebabkan hati membatu.
Barang siapa ingin meraih kenikmatan beribadah, hendaklah ia bersungguh-sungguh memacu diri untuk menghindar dari dorongan hawa nafsu dan janji-janji yang semu.
Imam Ibn Qayyim berkata:
nafsu itu akan mengajak kepada keburukan, mungkin disebabkan dia bodoh terhadap akibat buruk yang akan timbul atau karena niat yang rusak atau pada saat tertentu karena dua hal tersebut secara bersamaan”
5. Bersungguh-sungguh
Barang siapa yang bersungguh-sungguh menundukkan hawa nafsunya untuk selalu taat, maka yang demikian adalah pahala yang besar daripada amalan lainnya. Rasulullah bersabda,
Sudikah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang menyebabkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat kedudukannya dengan beberapa derajat?” para sahabat menjawab,”Ya, wahai Rasulullah.” Lalu beliau bersabda:”sempurnakanlah wudhu atas hal-hal yang di benci, perbanyaklah melangkahkan kaki menuju masjid-masjid dan menunggu shalat wajib setelah shalat nafilah”
6. Berdoa
7. Merasa yakin akan mendapatkan tujuan beribadah dan yakin akan berhasil meraih   kenikmatannya
8. Menegetahui bahwa ibadah itu bukan sekedar bentuk-bentuk yang harus ditunaikan, akan tetapi ibadah adalah ruh
9. Menjadikan ibadah sebagai prioritas perhatian seseorang
10.Memberikan kesempatan istirahat kepada jiwa dan memberikan ketenteraman hati.



BAB III
P E N U T U P
KESIMPULAN
-          Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa : Ibadah adalah ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula. Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan oleh seorang hamba dengan Allah secara langsung.
-          Secara garis besar ibadah dibagi menjadi dua:
- Ibadah murni (mahdhah), adalah suatu rngkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu.
- Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal.
-     Ruang lingkup ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Ianya merangkumi setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ‘ibadah menurut Islam selagi ia memenuhi syarat syarat tertentu.
-          Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah. Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu mencapai taqwa.




DAFTAR PUSTAKA

Al manar, Abduh. 1999.Ibadah dan Syari’ah. Surabaya : PT. Pamator
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.2007.Kitab:Dasar Islam. Jakarta : Lentera Hati
Darajat, Zakiyah.1995.Ilmu Fiqih.Yogyakarta : PT.Dana Bhakti Wakaf
Departemen Agama Republik Indonesia. 1989. Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra 
Syihab, M.Quraisy.2008. M.Quraisy Syihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui cetakan ke-1. Jakarta : Lentera Hati
Yusuf, Qardhawi.2002.Konsep Ibadah dalam Islam.Bandung : Mizan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar