Sabtu, 14 Januari 2017

Review Antibiotika



BAB I
LATAR BELAKANG

       Alexander Fleming menemukan antibiotik pertama, penicillin, pada tahun 1927. Setelah digunakan pertama kali tahun 1940an, antibiotik membawa perubahan besar pada pelayanan kesehatan dan penyembuhan infeksi bakterial.
        Antibiotik didefinisikan sebagai substansi, yang diproduksi oleh mikroorganisme, yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Munculnya antibiotik sintetik merubah definisi menjadi substansi yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau substansi serupa yang diproduksi keseluruhan maupun sebagian oleh sintesis kimia, pada konsentrasi minimal terukur menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain.
         Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif yang tinggi. Artinya obat itu harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia. Berdasarkan sifat ini, sifat antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan bakterisid.
         Namun penggunaannya, berdasarkan penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian di rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi.3 Peresepan antibiotik yang tidak tepat menjadi penyebab timbulnya epidemik bakteri resisten yang hasilnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas.4,5 WHO telah mengeluarkan pernyataan mengenai pentingnya mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan masalah antibiotik , termasuk strategi untuk mengendalikan kejadian resistensi.
Keterbatasan akses mendapatkan antibiotik yang efektif juga mempengaruhi pilihan dokter untuk meresepkan antibiotik yang tepat. Hal ini berkaitan dengan formularium antibiotik atau daftar antibiotik yang tersedia di sebuah rumah sakit. Untuk pelayanan obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada Daftar Obat E Katalog, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. HK.02.02/Menkes/523/2015, tangggal 31 Desember 2015 tentang Formularium Nasional dan Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Dalam keadaan tertentu, bila memungkinkan RSUD dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan menggunakan formularium Rumah Sakit.
A.     TUJUAN
Tujuan diterbitkan penggunaan obat Antibiotik rasional di RSUD dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan adalah:
1.         Dapat melaksanakan prinsip penggunaan antibiotik terapi secara BIJAK
2.        Memahami beberapa terminologi dlm penggunaan Antibiotika
3.        Tidak memberikan/ tidak menyetujui pemberian antibiotik kepada pasien bila tidak perlu /tidak ada indikasi) antibiotik terapi
4.        Dapat melaksanakan prisip dasar penggunaan antibiotik terapi secara BIJAK pada pasien yang membutuhkan antibiotik terapi


BAB II
KONSEP DASAR

A.    DEFINISI PEMBERIAN ANTIBIOTIK RASIONAL
         Pemberian antibiotik rasional adalah pemberian antibiotik yang sesuai dengan diagnosis penyakit , pemilihan jenis yang tepat , sehingga mencapai sasaran dengan efek samping  seminimal mungkin.
         Rasional didefinisikan sebagai tindakan menggunakan nalar sebagai pertimbangan tertinggi untuk menyimpulkan hal seperti pendapat ,perbuatan ,penilaian dan sebagainya , jadi bukan perasaan yang bersifat subyektif. Masalahnya sampai saat ini masih banyak pemberian antibiotik yang tidak rasional. Salah satu penyebabnya adalah karena tidak ada data lokal tentang pola mikroba penyebab penyakit .
            Prinsip pemberian antibiotik adalah untuk mencegah, mengobati serta menanggulangi terjadinya infeksi bakteri. Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba dan bersifat dapat membasmi mikroba jenis lain.

B.     RESISTENSI ANTIBIOTIK
         Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antibiotik. Sifat ini bisa merupakan suatu mekanisme alamiah untuk tetap bertahan hidup.
         Timbulnya resistensi pada suatu strain mikroba terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih dari mekanisme berikut :
1.                    Penghambatan secara enzimatik
2.                    Perubahan membrane sel bakteri
3.                    Effluks antibiotik
4.                    Perubahan sasaran di ribosom
5.                    Perubahan target pada dinding sel
6.                    Perubahan target pada enzim.7
         Agar suatu obat efektif untuk pengobatan, maka obat itu harus mencapai tempat aktifitasnya di dalam tubuh dengan kecepatan dan jumlah yang cukup untuk menghasilkan konsentrasi efektif.

C.    PRINSIP PEMBERIAN ANTIBIOTIK
1.    Tepat Indikasi
     Pemberian antibiotik di klinik bertujuan untuk menghentikan metabolisme kuman penyebab infeksi. Pemberian antibiotik ditentukan berdasarkan indikasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut:
(1)      Gambaran klinik penyakit infeksi, yaitu efek yang ditimbulkan akibat adanya toksin yang dikeluarkan bakteri ke tubuh hospes.
(2)      Efek terapi antibiotik pada penyakit infeksi hanya sebagai akibat kerja antibiotik terhadap biomekanisme bakteri dan tidak terhadap biomekanisme tubuh hospes.
(3)      Antibiotik hanyalah menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh hospes untuk sembuh dari penyakit infeksi.
    Untuk menentukan perlu atau tidaknya pemberian antibiotik pada suatu penyakit perlu diperhatikan gejala klinik dan patogenisitas bakteri serta kesanggupan mekanisme pertahanan tubuh hospes.
    Gejala demam yang merupakan salah satu gejala sistemik penyakit infeksi paling umum, tidak merupakan indikator kuat pemberian antibiotik.
     Pemberian antibiotik akibat demam tidak bijaksana karena:
(1)      Pemberian antibiotik yang tidak pada tempatnya dapat merugikan pasien (berupa efek samping) dan masyarakat (berupa masalah resistensi).
(2)      Demam dapat disebabkan oleh infeksi virus yang cukup tinggi angka kejadiannya dan tidak dapat dipercepat penyembuhannya dengan menggunakan antibiotik yang tidak rasional.
(3)      Demam dapat juga terjadi pada penyakit noninfeksi, yang dengan sendirinya bukan indikasi pemberian antibiotik.
    Indikasi pemberian antibiotik pada pasien harus dipertimbangkan dengan seksama, dan sangat tergantung pada pengalaman pengamatan klinik dokter yang mengobati pasien.

2.    Pemilihan Antibiotik yang Tepat
             Setelah dokter menentukan perlu tidaknya pemberian antibiotik, langkah berikutnya adalah pemilihan antibiotik yang tepat seta penentuan dosis dan cara pemberiannya. Dalam memilih antibiotik yang tepat harus dipertimbangkan faktor sensitivitas bakteri terhadap antibiotik, keadaan tubuh hospes dan biaya pengobatan.
             Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotik, perlu dilakukan pembiakan kuman penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji kepekaan. Bahan biologik dari hospes untuk pembiakan diambil sebelum pemberian antibiotik. Setelah pengambilan bahan tersebut terutama dalam keadaan penyakit infeksi yang berat, terapi dengan antibiotik dapat dimulai dengan memilih antibiotik yang tepat sesuai gejala klinis pasien.
             Dalam praktek sehari-hari tidak mungkin melakukan pemeriksaan biakan pada setiap penyakit infeksi. Sehingga pemilihan antibiotik dilakukan dengan membuat perkiraan kuman penyebab infeksi dan pola kepekaannya.
              Bila dari hasil kepekaan ternyata pilihan antibiotik semula tadi tepat serta gejala klinik jelas membaik maka terapi menggunakan antibiotik tersebut diteruskan. Namun jika hasil uji sensitivitas menunjukan ada antibiotik yang lebih efektif, sedangkan dengan antibiotik semula gejala klinik penyakit tersebut menunjukan perbaikan-perbaikan yang menyakinkan maka antibiotik semula dapat diteruskan.        
            Tetapi apabila hasil perbaikan klinis kurang memuaskan, antibiotik yang diberikan semula dapat digantikan dengan antibiotik yang lebih efektif sesuai dengan hasil uji sensitivitas.
              Bila pemberian antibiotik hanya bersifat bakteriostatik, pemusnahan bakteri hanya tergantung pada daya tahan tubuh hospes, tidak demikian halnya dengan antibiotik bakterisid. Antibiotik bakterisid dapat dipastikan menghasilkan efek terapi, apalagi bila diketahui bahwa daya tahan tubuh hospes telah menurun, seperti pada penyakit difisiensi imun, leukimia akut dan lain-lain. Pada keadaan ini lebih baik digunakan antibiotik bakterisid.
              Keadaan tubuh hospes perlu dipertimbangkan untuk memilih antibiotik yang tepat. Untuk  pasien penyakit infeksi yang juga menderita penyakit ginjal misalnya, jika diperlukan jenis tetrasiklin sebagai antibiotik, maka sebaiknya dipilih doksisiklin yang paling aman diantara tetrasiklin lainnya.10

3.    Penentuan Dosis dan Lama Pemberian yang Tepat
             Penentuan dosis dan lama pemberian terapi antibiotik, didasarkan pada sifat farmakodinamik dan farmakokinetik obat tersebut.
             Untuk penentuan besar dosis tergantung pada jenis infeksi dan penetrasi obat ke tempat infeksi. Sedangkan untuk penentuan lama pemberian tergantung pada respon klinik, mikrobiologis maupun radiologis.10
4.    Farmakokinetik Antibiotika
            Faktor-faktor yang penting dan berperan dalam farmakokinetika obat adalah absorpsi, distribusi, biotransformasi, eliminasi, faktor genetik dan interaksi obat. Antibiotika yang akan mengalami transportasi tergantung dengan daya ikatnya terhadap protein plasma. Bentuk yang tidak terikat dengan protein itulah yang secara farmakologis aktif, yaitu punya kemampuan sebagai antimikroba.
            Transport antibiotika ditentukan oleh proses difusinya, luas daerah transfer, kelarutan dalam lemak, berat molekul, derajat ionisasi, koefisien partisi dan perbedaan konsentrasi meternofetal.
D.    FAKTOR PENGARUH KUALITAS PEMBERIAN ANTIBIOTIK
        Pemberian antibiotik adalah penentu utama dari berkembangnya resistensi. Banyak parameter yang telah dibuat untuk mengoptimalkan penilaian kualitas pemberian antibiotik. Peningkatan pemberian antibiotik secara bijak menjadi solusi sebagai upaya mengatasi resistensi. Pemilihan antibiotik yang bijak yaitu adalah yang  tepat indikasi, dosis,  rute serta waktu pemberian.10
        Jumlah antibiotik yang diberikan juga menentukan tepat tidaknya peresepan antibiotik tersebut.  Pemberian antibiotik yang bijak meliputi kuantitas dan kualitas yang baik tergantung dari:
1.                    Ketersediaan antibiotik
Keterbatasan akses mendapatkan antibiotik yang efektif juga mempengaruhi pilihan dokter untuk meresepkan antibiotik yang tepat. Hal ini berkaitan dengan formularium antibiotik atau daftar antibiotik yang tersedia di sebuah Rumah Sakit.
Untuk pelayanan obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada Daftar Obat E Katalog, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. HK.02.02/Menkes/523/2015, tangggal 31 Desember 2015 tentang Formularium Nasional dan Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Dalam keadaan tertentu, bila memungkinkan RSUD dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan menggunakan formularium Rumah Sakit.
2.                    Kebijakan mengenai pemberian antibiotik
Kebijakan untuk pemberian antibiotik secara bijak diperlukan sebagai pedoman bagi dokter dalam praktik sehari-hari.  Rekomendasi nasional yang mendukung pemberian antibiotik sebaiknya terus dikembangkan sehingga pelaksanaan dan pengawasan pemberian antibiotik dapat secara ketat dilaksanakan. Sebaikya pedoman pemberian antibiotik di rumah sakit diperbarui secara berkesinambungan.
3.                    Pengetahuan dan sikap dokter
Pemilihan antibiotik tergantung dari pengetahuan dokter tentang berbagai aspek yang berbeda mengenai penyakit infeksi. Dalam pemberian antibiotik harus dipertimbangkan dengan seksama mulai dari ketepatan diagnosis, tujuan pengobatan, pilihan obat yang tepat, pemberian obat kepada penderita, memberikan informasi yang adekuat dan memantau efek pemberian obat. Hal ini sangat tergantung pada sikap dan pengalaman pengamatan klinik dokter dalam mengobati pasien. Faktor yang mempengaruhi perubahan sikap individu maupun kelompok, salah satunya adalah faktor pendorong (reinforcing faktors) yaitu faktor yang memperkuat perubahan perilaku seseorang dikarenakan adanya sikap dan perilaku pihak lain misalnya institusi, atasan, teman kerja atau tokoh lain yang menjadi model. Faktor pengetahuan dan sikap dokter merupakan faktor penting, walaupun tidak diingkari pula terdapat peran dari pihak lain seperti institusi yang membawahi dokter dan farmasi.
4.                    Promosi farmasi
Industri farmasi ikut berperan dalam penyediaan dan promosi antibiotik. Terkadang pihak farmasi mengintervensi dokter karena menginginkan pemberian produk antibiotiknya meningkat, sehingga  mempengaruhi dokter dalam peresepan. Sebaiknya dilakukan pengendalian dan pengawasan terhadap aktivitas promosi tersebut.

E.     PENGUKURAN KUALITAS ANTIBIOTIK
       Antibiotik hanya bekerja untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotik tidak bermanfaat mengobati penyakit yang diakibatkan oleh virus atau nonbakteri lainnya. Pemberian antibiotik secara rasional diartikan sebagai pemberian antibiotik yang tepat indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis dan waspada terhadap efek samping obat yang dalam arti konkritnya adalah:
1.                    Pemberian resep yang tepat atau sesuai indikasi
2.                    Pemberian dosis yang tepat
3.                    Lama pemberian obat yang tepat
4.                    Interval pemberian obat yang tepat
5.                    Aman pada pemberiannya
6.                    Terjangkau oleh penderita.13
         Untuk meningkatkan pemberian antibiotik yang rasional, pemberian antibiotik pada unit pelayanan kesehatan selain harus disesuaikan dengan pedoman pengobatan juga sangat dipengaruh oleh pengelolaan obat.14  Pemberian antibiotik juga disesuaikan dengan Formularium Rumah Sakit yaitu daftar obat yang disepakati beserta informasinya yang harus ditetapkan dirumah sakit. Formularium Rumah Sakit disusun oleh Komite Farmasi dan Terapi Rumah Sakit dan disempurnakan dengan mempertimbangkan obat lain yang terbukti secara ilmiahdibutuhkan di rumah sakit tersebut.
         Penilaian mengenai rasionalitas pemberian antibiotik memuat dua aspek penting untuk di evaluasi yaitu jumlah antibiotik yang digunakan yang disebut dengan kuantitas dan ketepatan dalam pemilihan jenis antibiotik, dosis serta lama pemberian yang disebut kualitas.
         Kualitas pemberian antibiotik dapat dinilai dengan melihat catatan medis. Hal-hal yang harus dinilai antara lain ada tidaknya indikasi, dosis, lama pemberian, pilihan jenis dan sebagainya.
Gyssens, dkk membagi kategori kualitas pemberian antibiotik sebagai berikut:15
1.                    Kategori I: pemberian dengan indikasi yang tepat
2.                    Kategori II: pemberian antibiotik yang tidak tepat: Dosis, Interval, Rute
3.                    Kategori III: pemberian antibiotik atas indikasi yang tepat dosis/interval/rute yang   
     tepat tapi tidak tepat dalam lama pemberian (terlalu lama atau terlalu sebentar)
4.              Kategori IV: pemberian antibiotik yang tepat indikasi, dosis/interval/rute serta lama pemberian tetapi tidak tepat jenisnya
a.      Ada pilihan antibiotik lain yang lebih efektif
b.      Ada pilihan antibiotik lain yang kurang toksik
c.       Ada pilihan antibiotik lain yang lebih murah
d.      Ada pilihan antibiotik lain yang lebih sempit spektrumnya.
5.                     Kategori V: pemberian antibiotik yang tanpa indikasi
6.                     Kategori VI: rekam medis tidak lengkap untuk dievaluasi.
Penilaian kualitas pemberian antibiotik pada penelitian ini menggunakan alur Gyssens.



















Marchantia convoluta



Nama : Nur Munifah
NPM   : 2016.06.02.0.0005

Marchantia convoluta






1.   Klasifikasi :
        Kingdom : Plantae
        Divisi      : Marchantiophyta
            Class       : Marchantiopsida
            Ordo       : Marchantiales
            Family    : Marchantiaceae
            Genus     : Marchantia
            Species    : Marchantia convoluta

2.   Ciri-Ciri Morfologi
Marchantia convoluta (Subash Kumar Gupta ISSN 2278 – 4357 Vol 4, Issue 04, 2015) hanya dapat dijumpai di dataran China, umumnya hidup pada batuan lembab di tempat teduh atau dekat tepi sungai. Marchantia convoluta termasuk tanaman gametofit haploid biasanya disebut sebagai talus( akar, batang dan daun sulit dibedakan). Talus berwarna hijau, dorsiventral dan dichotomously bercabang. Titik tumbuh terletak di puncak dari talus yang biasanya berlekuk. Talus matang mempunyai panjang 2-10 cm dan lebar 0,5-3 cm. Pelepah talus yang menyerupai daun terletak pada permukaan dorsal talus. 
Permukaan dorsal talus luas, gelap dan tebal. Penebalan median daerah-daerah poligonal atau rhomboidal, disebut areoles atau areola. Pori udara terletak di pusat setiap areole. Pada permukaan dorsal talus kecil, seperti cangkir yang terdapat di  sepanjang pelepah tersebut. Struktur ini disebut cangkir gemma (ara1a). Cangkir gemma mengandung  Gemmae, yang bertanggung jawab untuk perkembangan vegetatif. Tanaman dewasa tubuh yaitu gametofit talus, permukaan dorsal terdiri dari cabang tegak
Rhizoid biasanya berwarna atau pucat-coklat, halus, berdinding tipis. Pada setiap sisi pertengahan rusuk 2-4 baris terutama dua jenis sisik muncul. Salah satunya adalah sisik ventral dan lainnya adalah sisik marginal. Margin timbangan memiliki banyak lendir papila. Sel minyak juga hadir dalam timbangan. 

3. Kandungan Senyawa Aktif
Marchantia convoluta (Subash Kumar GuptaISSN 2278 – 4357 Vol 4, Issue 04, 2015) mengandung flavonoid (terdiri dari quercetin, luteolin, apigenin dan O dan C-glikosida), tanin dan senyawa fenolik , 22,23-dihydrostigmasterol, stigmasterol dan n -hexadecanoicasam, asam oktadekanoat sebagai sterol utama dan senyawa kimia, isoprenoidenzim biosintesis dan ethnobotanical.
Marchantia convoluta (Braz J Med Biol Res, 2006) mengandung sitotoksisitas tiga ekstrak, yaitu petroleum eter, etil asetat dan n-butanol. Selain itu konstituen utama Marchantia convoluta (Braz J Med Biol Res, 2006) adalah flavonoid, triterpenoid dan steroid. Flavonoid dari Marchantia convoluta terutama terdiri dari quercetin, luteolin, apigenin dan O dan C-glikosida.
Menurut Afr. J. Trad. CAM (2006) Marchantia convoluta mengandung 3- (4,5-dimethylthiazol-2-yl) -2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT) assay, senyawa kimia berupa Sterol utama yang berasal dari talus, 22,23-dihydrostigmasterol (31,26%), n asam -hexadecanoic (20,35%), stigmasterol (4,55%) dan asam oktadekanoat (5,75%) sebagai senyawa utama

4.   Kegunaan Dalam Dunia Kesehatan
4.1. Kegunaan Secara Umum
a.       Tumor kulit (JIB, 1990)
b.      Antipiretik (Xiao et al,2004)
c.       Anti Inflamasi (Braz J Med Biol Res, 2006)
d.      Diuretik pada tikus (Braz J Med Biol Res, 2006)
e.       Kanker Paru (H1299) dan hati (HepG2) (Afr. J. Trad. CAM (2006)
f.       Melindungi hati, mengobati hepatitis dan antipiretik (Subash Kumar Gupta (ISSN 2278 – 4357 Vol 4, Issue 04, 2015)

4.2.   Hasil Penelitian
a.       Cao et al, (2005); Xiao et al, (2004); Xiao et al,(2005); Zhu et al, (2003); Zhu et al,(2005) melaporkan bahwa flavonoid dan seskuiterpen di Marchantia convoluta sebagai anti-kanker.
b.      Xiao Jian-BO, Ren Feng-Lian dan Ming Xu (2006) menjelaskan bahwa Flavonoid dari Marchantia convoluta memiliki kemampuan untuk menghambat proliferasi 2.2.15 sel, menghambat sekresi HBsAg dan HBeAg.
c.       Braz J Med Biol Res, (2006) melaporkan bahwa Flavonoid dari Marchantia convoluta sangat menghambat colibacillus, basil tifus, Staphylococcus aureus, Bacillus enteridis, hemolytic jenis Streptococcus B dan Diplococcus pneumoniae dan memiliki antibiotic.
d.      Braz J Med Biol Res, (2006) melaporkan bahwa sitotoksisitas tiga ekstrak, yaitu petroleum eter, etil asetat dan n-butanol.dari tanaman Marchantia convoluta untuk karsinoma manusia non kecil paru-paru sel (H1299) dan karsinoma hati (HepG2).
e.        Afr. J. Trad. CAM (2006) melaporkan bahwa Ekstrak Marchantia convoluta digunakan dalam tradisional obat Cina untuk mengobati tumor hati, melindungi hati dan mengobati hepatitis
f.       Subash Kumar Gupta (ISSN 2278 – 4357 Vol 4, Issue 04, 2015) menjelaskan bahwa Flavonoid Ekstrak Marchantia convoluta menunjukkan aktivitas antimikroba.
g.      Subash Kumar Gupta (ISSN 2278 – 4357 Vol 4, Issue 04, 2015) menjelaskan bahwa senyawa fenolik yang banyak mengandung radikal bebas bisa digunakan sebagai antioksidan alami.

.5. Referensi
Subash Kumar Gupta, Anand Sharma, Saurav Moktan, A Review On Some Species of Marchantia with References of Distribution , Characterization and Importance, World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2015, Volume 4, Issue 04, 1576-1588.
Chen XQ, Xiao JB, In Vitro Cytotoxic Activity of Extracts of Marchantia convolute on Human Liver and Lung Cancer Cell Lines, Afr J Tradit, Complement Altern Med 2006 3 (3): 32-36.
Xiao JB, Jiang XY, Chen XQ, Cytotoxicity of Marchantia convolute Leaf Extract to Humanand Lung Cancer,Braz J Med Biol Res, 2006, volume 39(6) 731-738.
Xiao JB, Jiang XY, Chen XQ. Antibacterial, anti-inflammatory and diuretic effect of flavonoids from Marchantia convoluta. Afr J Tradit, Complement Altern Med 2005; 2: 244-252.     
Zou DF, Zhu H, Xiao JB, Cao H, Zhou CS. Identification of UASLG for M. polymorpha, M. convoluta and M. paleacea. Nat Prod Res Develop 2005; 17: 463-464. 
Zhu H, Xiao JB, Zou DF, Fu P, Zhou CS. Isolation, purification and identification of apigenin-7-O-D-glucuronide in Marchantia convoluta with silica column chromatography, RP-HPLC and LC-ESI-MS. Nat Prod Res Develop 2005; 17: 38-41.        
Xiao JB, Cao H, Xiang HY, Zhou CS. Determination of the content of flavonoids in Marchantia convoluta. Nat Prod Res Develop 2005; 17: 186-190.         
Chen XQ, Xiao JB. RP-HPLC-DAD determination of flavonoids: separation of quercetin, luteolin and apigenin in Marchantia convoluta. Iran J Pharmac Res 2005; 4: 175-181.         
Zhu H, Zhou CS, Huang HB, Wang XX. Studies on the lipophilic constitutes from the leafy body of Marchantia convoluta.Guihaia 2003; 23: 571-573.         
Adams RP. Identification of essential oil components by gas chromatography/mass spectroscopy. Carol Stream: Allured Publishing; 2001.         
Pourmortazavi SM, Sefidkon F, Hosseini SG. Supercritical carbon dioxide extraction of essential oils from Perovskia atriplicifolia Benth. J Agric Food Chem 2003; 51: 5414-5419.         
Stashenko EE, Puertas MA, Combariza M. Volatile secondary metabolites from Spilanthes americana obtained by simultaneous steam distillation-solvent extraction and supercritical fluid extraction. J Chromatogr A 1996; 752: 223-232.        
Anklam E, Berg H, Mathiasson L, Sharman M, Ulberth F. Supercritical fluid extraction (SFE) in food analysis: a review. Food Addit Contam 1998; 15: 729-750.         
Chester TL, Pinkston JD, Raynie DE. Supercritical fluid chromatography and extraction. Anal Chem 1994; 66: 106R-130R.        
Henry SH, Bosch FX, Bowers JC. Aflatoxin, hepatitis and worldwide liver cancer risks. Adv Exp Med Biol 2002; 504: 229-233.        
Gottesman MM. Mechanisms of cancer drug resistance. Annu Rev Med 2002; 53: 615-627.         
Kim PK, Park SY, Koty PP, Hua Y, Luketich JD, Billiar TR. Fas-associating death domain protein overexpression induces apoptosis in lung cancer cells. J Thorac Cardiovasc Surg 2003; 125: 1336-1342.         
Martin S, Padilla E, Ocete MA, Galvez J, Jimenez J, Zarzuelo A. Anti-inflammatory activity of the essential oil of Bupleurum fruticescens. Planta Med 1993; 59: 533-536.         
Tambe Y, Tsujiuchi H, Honda G, Ikeshiro Y, Tanaka S. Gastric cytoprotection of the non-steroidal anti-inflammatory sesquiterpene, beta-caryophyllene. Planta Med 1996; 62: 469-470.         
Shimizu M, Shogawa H, Matsuzawa T, Yonezawa S, Hayashi T, Arisawa M, et al. Anti-inflammatory constituents of topically applied crude drugs. IV. Constituents and anti-inflammatory effect of Paraguayan crude drug "alhucema" (Lavandula latifolia Vill.).Chem Pharm Bull 1990; 38: 2283-2284.